Rabu, 20 Oktober 2010

Institut Dirosah Islamiah Al-Amien

Latar Belakang

KH. Maktum Jauhari, MAkh-maktum-jauhari
Berawal dari harapan masyarakat, agar Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan tidak berhenti sampai pada keberhasilan mengelola lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah, maka pada tahun 1980, dimulai rintisan pendirian lembaga pendidikan tingkat tinggi. Tiga tahun kemudian, persisnya tahun 1983, bersamaan dengan kunjungan Menteri Agama Republik Indonesia kala itu, Bapak Munawwir Syadzali, MA., diresmikan keberadaan lembaga pendidikan tinggi, yang pada saat itu disepakati bernama Pesantren Tinggi Al-Amien Prenduan yang disingkat PTA Prenduan.
Fakta akan harapan dan kebutuhan masyarakat terhadap urgensitas pendidikan tinggi pasca pesantren terbukti benar. Kali pertama menerima mahasantri, Pesantren Tinggi Al-Amien Prenduan dibanjiri peminat, dari alumni Al-Amien hingga pondok-pondok pesantren lain. Karenanya pimpinan PTA pada saat itu, memberlakukan seleksi masuk PTA secara ketat, dengan mempertimbangkan kualitas intelektual dan moral. Sehingga Pesantren Tinggi Al-Amien Prenduan, dikenal sebagai tempat berkumpulnya para santri dengan kualitas pemahaman agama yang dapat diandalkan.
Dalam perkembangan berikutnya, kehadiran mahasantri PTA memberi pengaruh istimewa terhadap geliat pendidikan di Pondok Pesantren Al-Amien, terutama dalam dinamisasi kegiatan-kegiatan keilmuan para santri. Masyarakat di sekitar Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, juga memperoleh dan merasakan manfaat kehadiran mereka, lewat beragam aktivitas dakwah dan pemberdayaan umat. Hingga kini, sejak mewisuda alumni pertamanya, PTA Prenduan telah melahirkan pimpinan-pimpinan pesantren, tokoh-tokoh agama, dan aktivis-aktivis dakwah yang disegani di wilayah nusantara.
Sayangnya, sistem pendidikan nasional pada masa itu, belum dapat menciptakan atmosphere kondusif bagi usaha-usaha kreatif warga bangsa ini, dalam memberikan pendidikan yang murah namun berkualitas baik. Fakta bahwa pendidikan teramat mahal untuk dinikmati oleh setiap anak bangsa ini, kian menyiratkan kegamangan pemerintah dalam mengelola sektor pendidikan bagi rakyat Indonesia. Sikap lamban pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap sumbangsih pondok pesantren dan lembaga pendidikan pasca pesantren kepada dunia pendidikan nasional, tentu saja dengan beragam apologi, menjadi tesis pembenar atas kegamangan pemerintah dalam mengambil kebijakan tersebut.
Dan karena itu, pada tahun 1985, Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan dengan pertimbangan situasi pendidikan nasional demikian, dan keinginan masyarakat akan keberadaan lembaga pendidikan tinggi alternatif yang diakui secara resmi oleh pemerintah, namun dengan tetap mempertahankan kualitas sistem dan validitas orientasi, kemudian mengubah Pesantren Tinggi Al-Amien menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Amien (STIDA) Prenduan.
Pada tahun 1996, minat mahasiswa terhadap diversifikasi fakultas bertambah, sejalan dengan bertambahnya jumlah mahasiswa yang mendaftar. Kemudian setelah diadakan studi kelayakan oleh tim dari Kopertais wilayah IV Surabaya, proposal penambahan program studi disetujui. Status dan nama STIDA-pun beralih rupa menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Amien Prenduan, dengan membuka dua program studi/jurusan: Bimbingan dan Penyuluhan Islam/BPI (Dakwah), dan Pendidikan Agama Islam/PAI (Tarbiyah).
Perlahan namun pasti, prestasi demi prestasi institusional diraih oleh STAI Al-Amien Prenduan. Tak berapa lama kemudian, lewat Surat Keputusan Badan Akreditasi Nasional dengan nomor: 019/BAN-PT/Ak-IV/VIII/2000, STAI dinyatakan terakreditasi dengan nilai maksimum. Jalan menuju idealisme kian nampak di depan mata. Harapan bagi terwujudnya sebuah perguruan tinggi Islam yang representatif, semakin gamblang terhampar di hadapan. Dan segera setelah turunnya hasil akreditasi itu, sebuah tim dibentuk untuk merealisasikan idealisme berikutnya, yaitu merencanakan penambahan beberapa program studi (prodi), sebagai syarat bagi peningkatan status kelembagaan menjadi Institut.
Maka dengan membuka satu fakultas dan empat program studi baru pada tahun akademik 2001-2002, yaitu: Komunikasi & Penyiaran Islam (Dakwah), Pendidikan Bahasa Arab (Tarbiyah), dan Tafsir/Hadits serta Aqidah/Filsafat (Ushuluddin), sekolah Tinggi Agama Islam, berganti wajah menjadi Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) Prenduan, yang kemudian mendapatkan pengakuan resmi seiring turunnya Surat Keputusan dari Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI. No. : Dj.II/144/2002.
Sumber: http://idiaprenduan.com/profil-2/latar-belakang/

KH. Idris Jauhari Sang Pejuang Al-Amien


MENCIUM TANGAN REMBULAN


Teruntuk KH. Moh. Idris Jauhari

Daun-daun kebersamaan
Melebatkan ranting-ranting keta'dziman
Saat kucium tanganmu, rembulan
Di altar rumah Tuhan penuh keridlaan 

Al-Amien, 14 Mei 2010
 

Sumber Gambar: http://pelangitanahjauhari.blogspot.com/2010/05/ilustrasi-kebersamaan.html

Ma’had TMI

Sejarah Singkat
Tarbiyatul Mu’allimien al-Islamiyah (TMI) adalah lembaga pendidikan tingkat menengah yang paling tua di lingkungan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN. TMI—dengan bentuknya yang sangat sederhana—telah dirintis pendiriannya sejak pertengahan tahun 1959 oleh Kiai Djauhari Chotib (pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan). Selama kurang lebih 10 tahun, Kiai Djauhari mengasuh lembaga ini di lokasi Pondok Tegal sampai beliau wafat pada bulan Juli 1970.

Setelah Kiai Djauhari wafat, usaha rintisan awal ini pun dilanjutkan oleh putra-putra dan santri-santrinya antara lain dengan melakukan langkah-langkah pendahuluan sebagai berikut: Pertama, membuka lokasi baru seluas kurang lebih 6 ha, amal jariyah dari santri-santri Kiai Djauhari, yang terletak 2 km di sebelah bara lokasi lama. Kedua, membentuk “tim kecil” yang beranggotakan 3 orang (yaitu Kiai Muhammad Tidjani Djauhari, Kiai Muhammad Idris Jauhari, dan Kiai Jamaluddin Kafie), untuk menyusun kurikulum TMI yang lebih representatif. Ketiga, mengadakan “studi banding” ke Pondok Modern Gontor dan pesantren-pesantren besar lainnya di Jawa Timur, sekaligus memohon doa restu kepada kiai-kiai sepuh pada saat itu, khususnya Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Imam Zarkasyi Gontor, untuk memulai usaha pendirian dan pengembangan TMI dengan sistem dan paradigma baru yang telah disepakati.

Setelah melewati proses pendahuluan tersebut, maka pada hari Jum’at, tanggal 10 Syawal 1391 atau 3 Desember 1971, TMI (khusus putra) dengan sistem dan bentuknya seperti yang ada sekarang secara resmi didirikan oleh Kiai Muhammad Idris Jauhari, dengan menempati bangunan darurat milik penduduk sekitar lokasi baru. Dan tanggal inilah kemudian yang ditetapkan sebagai tanggal berdirinya TMI AL-AMIEN PRENDUAN.
Sedangkan TMI (khusus putri) atau yang lebih dikenal dengan nama Tarbiyatul Mu’allimaat al-Islamiyah (TMaI) dibuka secara resmi 14 tahun kemudian, yaitu pada tanggal 10 Syawal 1405 atau 19 Juni 1985, oleh Nyai Anisah Fatimah Zarkasyi, putri Kiai Zarkasyi dan istri (alm) Kiai Tidjani Djauhari.

Visi dan Misi Lembaga
Visi TMI AL-AMIEN PRENDUAN semata-mata untuk ibadah kepada Allah swt., dan mengharap ridlo-Nya (sebagaimana tercermin dalam sikap tawadlu’, tunduk dan patuh kepada Allah swt., dalam seluruh aspek kehidupan). Mengimplementasikan fungsi Khalifah Allah di muka bumi (sebagaimana tercermin dalam sikap proaktif, inovatif, kreatif dan produktif).

Sedangkan misinya adalah mempersiapkan individu-individu yang unggul dan berkualitas menuju terbentuknya umat terbaik yang pernah dikeluarkan untuk manusia (khairo ummah). Sebagai misi khususnya adalah mempersiapkan kader-kader ulama dan pemimpin umat (mundzirul qoum) yang muttafaqih fid dien; yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan dakwah ilal khair, ‘amar ma’ruf nahi munkar dan indzarul qoum.

Jenjang Pendidikan dan Masa Studi
TMI adalah lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah yang berarti setingkat dengan Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, atau dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU). Ada dua program pendidikan yang ditawarkan TMI, yaitu:
- Program reguler (kelas biasa), untuk tamatan SD/MI dengan masa belajar 6 tahun.
- Program intensif, untuk tamatan SMP/MTs dengan masa belajar 4 tahun.
Selain kedua program tersebut, juga dibuka program Kelas Persiapan atau Syu’bah Takmiliyah, bagi mereka yang tidak lulus dalam ujian masuk atau tidak memenuhi syarat-syarat minimal untuk duduk di kelas satu. Kelas persiapan ini memiliki dua jenis program: Syu’bah Tamhidiyah bagi tamatan SD/MI, dan Syu’bah I’dadiyah bagi tamatan SMP/MTs.

Materi dan Komponen Pendidikan
Secara garis besar, materi atau subyek pendidikan di TMI Al-AMIEN PRENDUAN meliputi 7 (tujuh) jenis pendidikan, yaitu:
  1. Pendidikan keimanan (aqidah dan syariah).
  2. Pendidikan kepribadian dan budi pekerti (akhlak karimah)
  3. Pendidikan kebangsaan, kewarganegaraan dan HAM.
  4. Pendidikan keilmuan (intelektualitas).
  5. Pendidikan kesenian dan keterampilan vokasional (kestram).
  6. Pendidikan olahraga, kesehatan dan lingkungan (orkesling).
  7. Pendidikan kepesantrenan (ma’hadiyat).
Ketujuh jenis pendidikan tersebut dijabarkan dalam bentuk beberapa Bidang Edukasi (BE—bukan Bidang Studi) yang diprogram sesuai dengan kelas atau tingkat pendidikan yang ada dengan alokasi waktu yang fleksibel. Kemudian sesuai dengan target kompetensi yang harus dikuasai oleh santri, maka Bidang Edukasi tersebut dikelompokkan menjadi 2 kelompok kompetensi yaitu Kompetensi Dasar (Komdas) dan Kompetensi Pilihan (Kompil).
Kompetensi Dasar (Komdas) adalah kompetensi-kompetensi dasar umum yang harus dikuasai oleh seluruh santri, tanpa kecuali, sesuai dengan target yang telah ditetapkan pada kelas-kelas tertentu. Komdas ini meliputi 2 kelompok Bidang Edukasi, yaitu Komdas A dan Komdas B. Komdas A meliputi Ulum TanziliyahAl-Qur’an wa Ulumuhu, Al-Hadits wa Siroh Nabawiyah, Ilmu Tauhid wal Akhlaq, dan Ilmu Fiqh wa Ushuluhu), Ulum Wathoniyah ‘Kurikulum Nasional’ (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Matematika dan Logika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris), Ulum Ma’hadiyah ‘Kurikulum Kepesantrenan’ (Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu-ilmu Pendidikan dan Keguruan, Dasar-dasar Riset dan Jurnalistik). ‘Studi Islam’ (
Sedangkan Komdas B, mencakup 5 Bidang Edukasi, yaitu Pendidikan Kepesantrenan, Pendidikan Kepanduan dan Kebangsaan, Pendidikan Olahraga, Kesehatan dan Lingkungan, Pendidikan Kesenian dan Keterampilan Vokasional, dan Pendidikan Khusus Kewanitaan.
Kompetensi Pilihan (Kompil) adalah kompetensi-kompetensi khusus yang harus dikuasai oleh santri-santri tertentu, sesuai dengan bakat, minat, kecenderungan, dan pilihannya masing-masing. Kompil ini meliputi 2 kelompok Bidang Edukasi, yaitu Kompil A mencakup 4 jenis pilihan, yaitu ‘Ulum Tanziliyah dan Bahasa Arab, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam/Sains, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Bahasa Inggris, Bahasa dan Sastra Indonesia.
Sedangkan Kompil B, mencakup 8 jenis pilihan, yaitu Saka-saka dan Resus-resus Pramuka, Klub-klub Penelitian dan Pengkajian Ilmiah, Bahasa, Olahraga, Kesenian, Palang Merah Remaja (PMR), Pecinta Alam dan Lingkungan serta kursus-kursus keterampilan dan kejuruan.

Pengakuan Ijazah
Sejak tahun 1982, ijazah TMI AL-AMIEN PRENDUAN telah memperoleh pengakuan persamaan (mu’adalah) dengan sekolah-sekolah menengah atas, di negara-negara Islam di Timur Tengah, antara lain :
  1. Dari Al-Jami’ah al-Islamiyah Madinah al-Munawwaroh, dengan SK No. 58/402 tertanggal 17/8/1402 (tahun 1982).
  2. Dari Jami’ah Malik Abdil Aziz (Jami’ah Ummil Quro) Makkah al-Mukarromah, dengan SK No. 42 tertanggal 1/5/1402. (tahun 1982).
  3. Dari Jami’ah Al-Azhar Cairo, dengan SK No. 42 tertanggal 25/3/1997.
  4. Dari International Islamic University Islamabad, Pakistan dengan surat resmi tertanggal 11 Juli 1988.
  5. Dari Universitas Az-Zaytoun Tunisia, dengan surat resmi tertanggal 21 Maret 1994.
Sedangkan di dalam negeri, ijazah TMI AL-AMIEN PRENDUAN telah mendapat pengakuan dari berbagai lembaga, baik negeri maupun swasta, antara lain :
  1. Dari Pimpinan Pondok Modern Gontor (diakui setara dan sederajat dengan KMI Gontor) dengan SK No. 121/PM-A/III/1413, tertanggal 25 September 1992
  2. Dari Departemen Agama RI. (diakui setara dan sederajat dengan MTsN dan MAN), dengan SK Dirjen Binbaga No. E.IV/PP.032/KEP/80/98, tertanggal 9 Desember 1998.
  3. Dari Departemen Pendidikan Nasional RI. (diakui setara dan sederajat dengan SMUN), dengan SK. Menteri Pendidikan Nasional No. 106/0/2000, tertanggal 29 Juni 2000.
Struktur Ma’had TMI
Struktur kelembagaan di TMI terdiri dari 3 unsur, yaitu Idarah Ammah, Idarah Ma’had dan Idarah Marhalah. Idarah Ammah berfungsi sebagai lembaga koordinatif yang mengkoordinir Idarah Ma’had Putra dan Putri. Sedangkan Idarah Ma’had sebagai lembaga koordinatif yang mengkoordinir idarah-idarah marhalah yang ada di bawahnya, baik Marhalah Syu’bah, Tsanawiyah, dan Aliyah sekaligus bertanggung jawab terhadap seluruh proses pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, baik di TMI Putra maupun di TMI Putri. Masing-masing idarah memiliki fungsi dan tugas yang saling terkait.
Tahun ini, Idarah Ammah dipimpin oleh KH. Moh. Khoiri Husni, S.Pd.I sekaligus sebagai Mudir ‘Aam TMI, Idarah Ma’had oleh K. Abd. Warits, S.Pd.I (Putra) dan K. Drs. Suyono Khottob (Putri), Marhalah Aliyah oleh Ust. Saiful Anam, Lc (Putra), Ust. Harun Ar-Rasyid, S.Sos.I (Putri), Idarah Marhalah Tsanawiyah oleh HM. Bakri Shalihin, S.Pd.I (Putra) dan Ust. Ach. Tijani Syadili, Lc (Putri), Idarah Marhalah Syu’bah oleh Ust. Abddussalam Arief (Putra) dan Ust. Ach. Tijani Syadzili, Lc (Putri).

Tenaga Pendidik
Tenaga pendidik di TMI seluruhnya berjumlah 416 orang, terdiri dari 229 (TMI Putra) dan 187 (TMI Putri). Mereka berasal dari tamatan berbagai perguruan tinggi, baik di dalam maupun luar negeri, termasuk tamatan TMI itu sendiri. Mayoritas tenaga pendidik mukim di dalam pondok dengan tujuan untuk mengoptimalkan proses pendidikan dan pengajaran yang berlangsung selama 24 jam. Selain tugas instruktisonal/edukasional, setiap guru memiliki tugas struktural dan fungsional.

Santri
Saat ini, santri TMI seluruhnya berjumlah 2.249 orang, terdiri dari 1.307 santri putra dan 1142 santri putri. Santri TMI memiliki latar sosial dan pendidikan yang berbeda-beda, baik mereka yang tamatan SD/MI maupun SLTP/MTs. Mereka berasal dari berbagai pelosok Indonesia, dari Nangroe Aceh Darussalam hingga Papua. Juga dari beberapa negara tetangga: Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Alumni
Hingga tahun 2008 ini, alumni TMI seluruhnya berjumlah 5.588 orang, terdiri dari 3035 orang (putra) dan 2553 (putri). Mereka tersebar di seluruh pelosok Indonesia dan luar negeri dengan berbagai profesi yang beraneka ragam.

Organisasi Santri
Salah satu sunnah/tradisi kepesantrenan yang berjalan di TMI adalah bahwa kehidupan santri sehari-hari di luar jam sekolah formal dikelola oleh para santri sendiri, dengan falsafah “Dari, Oleh dan Untuk Santri”. Pengelolaan ini dilaksanakan melalui organisasi santri, yaitu Ikatan Santri TMI Putra (ISMI), dan Ikatan Santri TMI Putri (ISTAMA). Organisasi itu memiliki tiga fungsi utama, yaitu sebagai pembantu Bapak Kiai dan Ibu Nyai dalam proses pendidikan, sebagai media latihan berorganisasi dan praktik pendidikan kepemipinan dan manajemen, serta sebagai penyalur aspirasi seluruh santri dan penghuni pondok.

Lain-lain
Informasi lebih lengkap tentang TMI AL-AMIEN PRENDUAN bisa diperoleh di layanan telepon: (0328) 821.777, atau hubungi K. Drs. Suyono Khattab (081803194804), K. Abd. Warits, S.Pd.I, (081703080078) , dan KH. Ghozi Mubarok, MA (0818320077), e-mail: tmi_al-amien@yahoo.com.

Menekankan Penguasaan Pengetahuan Agama dan Bahasa Asing



RIBUAN wanita berusia belia berjejer di sisi kiri dan kanan jalan di lokasi Pondok Pesantren putri I Al-Amien Prenduan Sumenep, Madura, Jawa Timur. Berbaju kurung dan berjilbab putih, mereka menyapa salam kepada rombongan tamu dari Jakarta. "Para santri putri ini menghormati para tamu yang datang dari Jawa Timur dan Jakarta dengan mengucapkan salam," kata H Helmi, alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan
Para santri putri yang berjumlah sekira 2.000 ini bermukim di asrama khusus putri. Mereka datang dari berbagai daerah bahkan dari luar negeri. Selain asrama, pihak pondok juga menyediakan gedung MTs. MA, dan SMK. serta gedung keterampilan tata busana, musholla, laboratorium IPA. laboratorium bahasa, Mitri Computer Center, perpustakaan, balai pertemuan wall santri, koperasi siswa, wartel dan fotocopy.Fasilitas ini dinilai telah mendukung para santri putri dalam mengembangkan bakat dan daya kreativitas mereka. Mereka mengikuti ekstra kurikuler, meliputi latihan manajemen dan kepemimpinan, latihan dakwah, pengembangan masyarakat, kursus komputer, kursus keterampilan serta program kepesantrenan seperti kutubut Turols dan lain-lain.
Walaupun dalam kesehariannya, para santri putri ini menerapkan bahasa Arab dan Inggris. tetapi kurikulum yang digunakan tetap kurikulum sekolah negeri yang telah ditetapkan oleh Departemen Agama dengan penekanan dan pendalaman khusus pada beberapa bidang studi, terutama pengetahuan agama dan pengetahuan bahasa asing (Arab dan Inggris), yang dimodivikasi dalam bentuk kurikulum lokal pondok.Di Pondok Pesantren ada pekan bahasa Arab dan Inggris. "Pekan bahasa Arab. Mereka wajib berbahasa Arab di ling-kungan pesantren ini. Mereka bergiliran berbidato bahasa Arab didengarkan oleh para santri dan ustadz pembimbing," kata Ketua Yayasan Al-Amien. KH Muhammad Marzuki. "Pada saat pekan Bahasa Inggris. pidato yang disampaikannya pun berbahasa Inggris."
Menurutnya penampilan pidato berbahasa Arab. Inggris dan Indonesia, itu untuk menguji para santri agar tidak "demam panggung" saat berdakwah. Berdakwah bukan sebatas di Indonesia, tetapi juga di manca negara. Oleh karena itu, sejak santri masuk ke pesantren, mereka diwajibkan belajar "nahu sharaT. Ilmu alat ini yang kemudian menjadi dasar pengkajian kitab kuning.Pondok Pesantren Al-Amien membagi empat pekan bahasa dalam setahun. Artinya untuk dua bulan pertama pada tiap-tiap semester dinamakan "pekan bahasa Arab" dan dua bulan kedua dinamakan "pekan bahasa Inggris".Para santri Al-Amien sangat disiplin. Mereka juga harus sudah masuk kamar pukul 21.00. "Pukul 09.00 malam para santri harus istirahat, tidur. Pada pukul 03.00 dinihari mereka harus sudah bangun, shalat tahajud dan shalat wilir berjamaah. Menjelang waktu subuh, para santri memanfaatkan belajar kelompok atau ada yang menghafal al-Quran." kata KH Maktum Jauhari, salah seorang majelis kiai.
Sesuai dengan misinya bahwa pondok pesantren ini berupaya mempersiapkan individu-indivudu yang unggul dan berkualitas menuju terbentuknya umat terbaik. Selain itu mencetak kader-kader ulama dan pemimpin umat yang mutqfakkuh Jiclclin yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan dawah Hal khoir. amar inanifdcui ualii/ munkar.Walaupun Pondok Pesantren Putri sudah mandiri dan dikelola para ustadzah, tetapi secara historis tidak lepas dari pondok Pesantren Khusus Putra. Letak antara Pondok Pesantren Putri dan Pondok Pesantren Putra hanya dipisahkan oleh jalan raya. Pondok Pesantren Al-Amien kini diasuh oleh KH Idris Jauhari dan KH Maktum Jauhari.
Lembaga independen
Pondok Pesantren Putri I Al Amien Prenduan terletak di Jalan Raya Pamekasan Sumenep. Madura, Jawa Timur atau 30 kilometer di sebelah Barat Kota Sumenep. Pondok ini didirikan secara resmi sejak tahun 1975. sekaligus pesantren putri pertama yang ada di lingkungan Al-Amien. Di dalamnya ada Madrasah Tsana-wiyah. Madrasah Aliyah unggulan dan SMK Al Amien.Menurut KH Idris Jauhari. Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan adalah lembaga yang berbentuk dan berjiwa pesantren yang bergerak dalam lapangan pendidikan, dakwah, dan kaderisasi dengan mengembangkan sistem yang inovatif, tapi tetap berakar pada budaya as-Salaf as-Sholeh.
"Al-Amien Prenduan adalah lembaga yang independen dan netral, tidak berafiliasi kepada salah satu dolongan atau partai politik apa pun. Seluruh aset dan kekayaan PP Al Amien Prenduan telah diwakafkan kepada umat Islam dan dikelola secara kolektif oleh sebuah Badan Wakaf yang disebut "Majlis Kiyai atau "Dewan RiasahV kala KH Idris Jauhari seraya menambahkan bahwa untuk melaksanakan tugas sehari-hari, majelis kiyai mendirikan sebuah yayasan yang memiliki badan hukum dan telah terdaftar secara resmi pada kantor pengadilan negeri Sumenep.
Pondok Pesantren Al Amien Prenduan diurus dan dikelola secara kolektif (bukan perorangan) oleh tiga level Badan Pengurus yang terstruktur, sesuai dengan wewenang dan bidang tugasnya masing-masing. Tiga level tersebut adalah Pertama. Dewan Riasatll Mahad atau majelis kiai atau juga biasa disebut dengan Badan Wakaf adalah lembaga tertinggi di lingkungan PP Al-Amien Prenduan yang menetapkan arah kebijakan pondok ke dalam dan keluar. Kedua, Yayasan Al-Amien Prenduan berfungsi sebagai penanggungjawab atas terlaksananya seluruh program Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Ketiga. Lembaga-lembaga dan Unit-unit Usaha sebagai lembaga pendidikan, dakwah dan kaderisasi serta unit-unit usaha di bidang ekonomi dan sarana.
KH Idris menjelaskan Al-Amien Prenduan juga mengkhususkan pendidikan terpadu Qurani yang dikenal dengan Mahad Tahfidz Al-Quran. Alumninya tersebar di berbagai pergruan tinggi dalam negeri seperti Universitas Indonesia (UI). Universitas ( i.ij.Ui Mada (UGM), Institut Teknologi Surabaya (ITS). InsUtut Teknologi Bandung (ITB), Institut Keguruan Hmu Pcnoidikan (IKIP), Universitas Sumatera Utara, Institut Agama Islam Negeri (LAIN). lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia-Arab (UP1A). Inmu dn lain-lain. Juga diterima di Ummul Quro Makkah Al Mukarramah dan sebagaian memlpin lembaga seperti pesantren dan sebagainya. Sementara alumnus Madrasah Aliyah Program Keagamaan sebagian dari mereka melanjutkan studinya keluar negeri (Universitas Al Azhar Kairo. Al Ahqaf University Yaman. Mahad Syekh Moh Ismail Makkah).
Menurut KH Idris. Mahad Tahfidz Al-Quran (putra dan putri) memberi beasiswa kapea santri dan santri wati yang berprestasi di semua tingkatan, baik prestasi akademik, non akademik maupun prestasi dalam hafalan al-Quran. "Kami Juga menawarkan kerjasama bebas pembayaran kepada kader-kader lembaga pendidikan Islam di seluruh penjuru nusantara." (sidik m nasir)
Sumber: http://bataviase.co.id/node/210212

KH. Tidjani Jauhari (Alm)


KH.MOCH TIDJANI JAUHARI (ULAMA INTELEKTUAL DARI MADURA)



KH.Ahmad Tidjani Jauhari ( Madura)
Sumber Gambar: http://bedahjiwa.wordpress.com/wajah


Pengasuh Pondok Pesantren Moderen Al-Amien Sumenep Madura KH Tidjani Djauhari lahir di Prenduan, Oktober 1945 Ayah beliu juga seorang ulama terkemuka bernama KH Achmad Djauhari Chotib ibunya bernama Nyai maryam Abdullah. Sejak Kecil KH Tidjani mendapat gembelengan dan tempaan ilmu dari Ayahnya yang memang seorang ulama . Ayahnya mengirim beliau untuk menimba diberbagai pondok- pesanten diantaranya di Gontor Jawa Timur di bawah asuhan KH Zarkasyi. Kecerdarsan KH Tidjani dalam menimba ilmu di Gontor telah membuat simpatik Gurunya hingga akhirnya menikahkan KH Tidjani dengan Putrinya . Selepas digontor KH Tidjani meningalkan Tanah air untuk melanjutkan studi di timur tengah di Jamiat Islamiyah Madinah dan Jamiat Malik Abdul Aziz Mekkah hingga memperoleh gelar S2 , selama di timur tengah KH Tidjani di percaya menjadi Sekjen Rabithoh A’lam Islami dan sering memberikan seminar serta diskusi-diskusi internasional ke berbagai negara seperti Pakistan, Maroko, Malaysia, Madinah dll.

Setelah sekian lama berada di timur tengah KH Tidjani kembali ketanah air untuk melakukan Dakwahnya. Pengetahuan serta keilmuan yang dimiliki KH tidjani telah memberikan suatu kontribusi tersendiri bagi masyarakat Madura, Beliau pernah mengundang hampir 150 ulama pesantren untuk belajar akses internet di Pondok-pesantren Al-Amien, menurutnya ulama-ulama pesantren harus tahu juga informasi-informasi aktual dengan basis multimedia. Selain menjabat sebagai dewan pakar ICMI , Beliau juga aktif di Ma’had A’ly Indonesia dan juga sebagai penggagas berdirinya BASSRA (badan silahturahim ulama pesantren se Madura). Sebagai seorang ulama dan tokoh Masyarakat madura KH.Tidjani merasa memiliki tanggung jawab terhadap umat, beliau sadar bahwa budaya Paternalistik masih kental melekat pada masyarakat Indonesia, maka konsekwensinya peran dan tanggung jawab nya menjadi sentral signipikan. Dan beliu juga sangat memperhatikan pentingnya pendidikan bagi masyarakat.

Kamis tanggal 27 September 2007 sekitar pukul 02.00 dini hari KH Tidjani meninggal dunia, Masyarakat telah kehilangan sosok ulama yang selama ini menjadi tempat mengadu dari berbagai persoalan, tangisan dari para murid-murid beliau mengiringi ketempat peristirahatan terakhirnya. Suasana duka menyelimuti komplek Pondok-pesantren Al-Amien terbayang sosok Kyai yang selama ini menjadi pembimbimnya dalam menimba ilmu selamat jalan kyai…semoga Allah swt menempatkannnya di tempat yang mulia, Amin...

Sumber: http://ronny-sachrony.blogspot.com/2008/06/khmoch-tidjani-jauhari-ulama.html



Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan

Pondok Pesantren Al Amien PrenduanPDFPrint

Image

Selayang Pandang

AL-AMIEN PRENDUAN merupakan salah satu Pondok Pesantren di pulau madura. Berpusat di desa Prenduan, Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep. Desa Prenduan sendiri merupakan desa yang terletak di pinggiran jalan poros propinsi yang menguhubungkan Kabupaten Pamekasan dan Sumenep. Desa Prenduan merupakan desa di pesisir selatan pulau madura, kurang lebih 30 km sebelah barat kota Sumenep dan 22 km sebelah timur kota Pamekasan.
Saat ini Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN menempati lahan seluas 25 ha yang menyebar di beberapa lokasi di Desa Pragaan Laok dan Desa Prenduan. Di masa-masa yang akan datang, besar harapan seluruh keluarga besar Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN akan berdiri cabang-cabang baru di daerah-daerah lain yang membutuhkan dan memungkinkan.

AL-AMIEN PRENDUAN sendiri merupakan lembaga yang berbentuk dan berjiwa pondok pesantren yang bergerak dalam lapangan pendidikan, dakwa, kaderisasi dan ekonomi sekaligus pula menjadi pusat studi Islam. Dengan mengembangkan sistem-sistem yang inovatif, tapi tetap berakar pada budaya as-Salaf as-Sholeh. Pondok Pesantren ini merupakan lembaga yang independen dan netral, tidak berafiliasi kepada salah satu golongan atau partai politik apapun. Seluruh aset dan kekeyaan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN telah diwakafkan kepada ummat Islam dan dikelola secara kolektif oleh sebuah Badan Wakaf yang disebut Majlis Kyai. Untuk melaksanakan tugas sehari-hari, Majlis Kyai mendirikan sebuah yayasan yang memiliki badan hukum dan telah terdaftar secara resmi di kantor Pengadilan Negeri Sumenep.

Sejarah BerdiriSejarah berdiirinya, pondok pesantren AL-AMIEN PRENDUAN tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan agama Islam di Prenduan itu sendiri. Karena Kiai Chotib (kakek para pengasuh sekarang) yang memulai usaha pembangunan lembaga pendidikan Islam di Prenduan, juga merupakan Kiai mengembangkan Islam di Prenduan. Usaha Pembangunan lembaga ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari usaha adik ipar beliau, Kyai Syarqowi yang hijrah ke Guluk-guluk setelah kurang lebih 14 tahun membina masyrakat Prenduan dalam rangka memenuhi amanat sahabatnya, Kyai Gemma yang wafat di Mekkah.

Sebelum meninggalkan Prenduan untuk hijrah ke Guluk-guluk, Kiai Syarqowi meminta Kiai Chotib untuk menggantikannya membimbing masyarakat Prenduan, setelah sebelumnya menikahkan beliau dengan salah seorang putri asli Prenduan yang bernama Aisyah, atau yang lebih dikenal kemudian dengan Nyai Robbani. Dengan senang hati Kiai Chotib menerima amanah tersebut.

Beberapa tahun kemudian, sekitar awal abad ke-20, Kyai Chotib mulai merintis pesantren dengan mendirikan Langgar kecil yang dikenal dengan Congkop. Pesantren Congkop, begitulah masyarakat mengenal lembaga pendidikan ini, karena bangunan yang berdiri pertama kali di pesantren ini adalah bangunan berbentuk Congkop (bangunan persegi semacam Joglo). Bangunan ini berdiri di lahan gersang nan labil dan sempit yang dikelilingi oleh tanah pekuburan dan semak belukar, kurang lebih 200 meter dari langgar yang didirikan oleh Kyai Syarqowi.

Sejak saat itu, nama congkop sudah menjadi dendang lagu lama pemuda-pemuda prenduan dan sekitarnya yang haus akan ilmu pengetahuan. Ngaji di Congkop, mondok di Congkop, nyantri di Congkop, dan beberapa istilah lainnya. Dari congkop inilah sebenarnya cikal bakal Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN yang ada sekarang ini dan kyai Chotib sendiri ditetapkan sebagai perintisnya.

Tapi sayang sebelum congkop menjadi besar seperti yang beliau idam-idamkan, kiai Chotib harus meninggalkan pesantren dan para santri-santri yang beliau cintai untuk selama-lamanya. Pada hari sabtu, tanggal 7 Jumadil Akhir 1349/2 Agustus 1930 beliau berpulang ke haribaan-Nya. Sementara putra-putri beliau yang berjumlah 8 orang sebagian besar telah meninggalkan Congkop untuk ikut suami atau membina umat di desa lain. Dan sebagian lagi masih belajar di berbagai pesantren besar maupun di Mekkah. Sejak itulah cahaya Congkop semakin redup karena regenerasi yang terlambat. Walaupun begitu masih ada kegaitan pengajian yang dibina oleh Nyai Ramna selama beberapa tahun kemudian.

Periode Pembangunan UlangSetelah meredup dengan kepergian kyai Chotib, kegiatan pendidikan Islam di Prenduan kembali menggeliat dengan kembalinya kyai Djauhari (putra ke tujuh kyai Chotib) dari Mekkah setelah sekian tahun mengaji dan menuntut ilmu kepada Ulama-ulama Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Beliau kembali bersama istri tercinta Nyai Maryam yang merupakan putri salah seorang Syeikh di Makkah Al-Mukarromah.

Sekembali dari Mekkah, KH. Djauhari tidak langsung membuka kembali pesantren untuk melanjutkan rintisan almarhum ayah beliau. Beliau melihat masyarakat Prenduan yang pernah dibinanya sebelum berangkat ke Mekkah perlu ditangani dan dibina lebih dahulu karena terpecah belah akibat masalah-masalah khilafiyah yang timbul dan berkembang di tengah-tengah mereka.

Setelah masyarakat Prenduan bersatu kembali, barulah beliau membangun madrasah yang baru yang lebih teratur dan terorganisir. Madrasah baru tersebut diberi namaMathlabul Ulum atau Tempat Mencari Ilmu. Madrasah ini terus berkembang dari waktu-waktu termasuk ketika harus berjuang melawan penjajahan Jepang dan masa-masa mempertahankan kemerdekaan pada tahun 45-an. Bahkan ketika KH. Djuhari harus mendekam di dalam tahanan Belanda selama hampir 7 bulan madrasah ini terus berjalan dengan normal dikelola oleh teman-teman dan murid-murid beliau.

Hingga akhir tahun 1949 setelah peperangan kemerdekaan usai dan negeri tercinta telah kembali aman, madrasah Mathlabul Ulum pun semakin pesat berkembang. Murid-muridnya bertambah banyak, masyarakat semakin antusias sehingga dianggap perlu membuka cabang di beberapa desa sekitar. Tercatat ada 5 madrasah cabang yang dipimpin oleh tokoh masyarakat sekitar madrasah. Selain mendirikan Mathlabul Ulum beliau juga mendirikan Tarbiyatul Banat yang dikhususkan untuk kaum wanita. Selain membina madrasah, KH. Djauhari tak lupa mempersiapkan kader-kader penerus baik dari kalangan keluarga maupun pemuda-pemuda Prenduan. Tidak kurang dari 20 orang pemuda-pemudi Prenduan yang dididik khusus oleh beliau.

Hingga akhir tahun 1950-an Mathlabul Ulum dan Tarbiyatul Banat telah mencapai masa keemasannya. Dikenal hampir di seluruh Prenduan dan sekitarnya. Namun sayang kondisi umat Islam yang pada masa itu diterpa oleh badai politik dan perpecahan memberi dampak cukup besar di Prenduan dan Mathlabul Ulum. Memecah persatuan dan persaudaraan yang baru saja terbangun setelah melewati masa-masa penjajahan. Pimpinan, guru dan murid-murid Mathlabul Ulum terpecah belah.

Periode Pendirian Pesantren (1952 - 1971)Menjelang akhir tahun 1951, di tengah keprihatinan memikirkan nasib Mathlabul Ulum yang terpecah KH. Djauhari teringat pada Pesantren Congkop dan almarhum ayahanda tercinta, teringat pada harapan masyrakat Prenduan saat pertama kali beliau tiba dari Mekkah. Beliaupun bertekad untuk membangkitkan kembali harapan yang terpendam, membangun Congkop Baru.

Langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun sebuah langgar atau mushalla yang menjadi pusat kegiatan santri dan para ikhwan Tidjaniyyin. Akhirnya setelah kurang lebih 1 tahun, walaupun dengan sangat sederhana Majlis Tidjani pun berdiri tegak. Maka tepat pada tanggal 10 November 1952 yang bertepatan dengan 09 Dzul Hijjah 1371 dengan upacara yang sengat sederhana disaksikan oleh beberapa santri dan Ikhwan Tidjaniyyin, KH. Djauhari meresmikan berdirinya sebuah Pesantren dengan nama Pondok Tegal. Pondok Tegal inilah yang kemudian berkembang tanpa putus hingga saat ini dan menjadi Pondok Pesantren Al-Amien seperti yang kita kenal sekarang ini. Karena itulah tanggal peresmian yang dipilih oleh KH. Djauhari disepakati oleh para penerus beliau sebagai tanggal berdirinya Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN.

Di Majlis Tidjani yang baru berdiri inilah, KH. Djauhari mulai mengasuh dan membimbing santri-santrinya. Semula hanya sebatas Ikhwan Tidjaniyyin yang datang dan pergi, kemudian datanglah santri-santri yang berhasrat untuk bermukim. Pada awal-awal tersebut pendidikan dan pengajaran lebih ditekankan pada penanaman akidah, akhlak dan tasawuf, selain juga diajarkan kitab-kitab dasar Nahwu dan Shorrof.

Pada tahun 1958 Departemen Agama membuka Madrasah Wajib Belajar (MWB) secara resmi dengan masa belajar 8 tahun. KH. Djauhari sangat tertarik dengan sistem madrasah ini, karena selain pelajaran agama dan umum juga diajarkan pelajaran keterampilan dan kerajinan tangan. Maka pada pertengahan tahun 1959 beliau membuka MWB di Pondok Tegal, sementara Mathlabul Ulum beliau jadikan Madrasah Diniyah dengan nama Mathlabul Ulum Diniyah (MUD) yang diselenggarakan pada sore hari hingga kini.

Selain mendirikan MWB beliau juga mendirikan TMI Majalis, diilhami oleh sistem pendidikan Kulliyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Pondok Modern Gontor. Terutama setelah putra beliau Moh. Tidjani mondok di sana. Didorong oleh obsesinya untuk mendirikan sebuah pesantren besar yang representatif beliau merintis madrasah tingkat menengah di Pondok Tegal. Untuk madrasah yang baru ini beliau secara sengaja memilih nama Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah atau TMI, tafa’ulan terhadap KMI Gontor yang sangat beliau kagumi. Apalagi setelah melihat hasil yang dicapai oleh putranya, Moh. Tidjani setelah setahun mondok di sana.

Selain mendirikan TMI Majalis KH. Djauhari juga pernah mendirikan Sekolah Lanjutan Pertama Islam yang diprakarsai oleh beberapa orang pemuda Prenduan. Namun lembaga ini hanya bertahan selama 2 tahun karena kesalahan manajemen dan kesibukan para pengelolanya. Lalu muncul pula ide serupa beberapa tahun kemudian beliau mendirikan kembali Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) yang pada akhirnya kemudian disatukan dengan TMI Majalis dengan sistem terpadi yang kemudian menempati lokasi baru di desa Pragaan Laok.

Pada akhir era 70-an KH. Djauhari begitu kecewa dengan perkembangan umat Islam yang semakin terpecah belah oleh politik dan partai. Sementara, hasratnya yang begitu besar untuk mendirikan pesantren besar yang representatif bagi pengkaderan generasi muda muslim. Untuk itulah putra beliau, Muhammad Idris Jauhari yang baru menyelesaikan pendidikan di KMI Gontor tidak beliau perkenankan untuk melanjutkan studi keluar daerah. Bahkan beliau minta untuk membantu beliau dalam banyak kegiatan, mengajar santri, mengimami sholat, mengisi pengajian, mengurusi pondok dan lain-lainnya. Saat itu, seolah-olah beliau hendak berpamitan sekaligus meninggalkan amanat besar yang harus dilanjutkan oleh putra-putri beliau. Dan memang tidak lama kemudian, pada hari jumat 18 Rabiuts Tsani 1371/11 Juni 1971 beliau berpulang ke rahmatullah dengan tenang di dampingi oleh istri, anak dan keluarga beliau.

Periode Pengembangan Pertama (1971 - 1989)Sepuluh hari sepeninggal KH. Djauhari, masyrakat Prenduan bermufakat untuk menjariyahkan sebidang tanah seluas 6 ha kepada putra almarhum, Moh. Tidjani Djauhari yang baru pulang dari Makkah untuk didirikan di atasnya pesantren yang representatif sesuai dengan cita-cinta almarhum semasa hayatnya. Tanah tersebut 2,5 ha berasal dari hasil pembelian yang harganya ditanggung oleh dermawan Prenduan, Kapedi dan Pekandangan sedangkan sisanya yang 3,5 ha berasal dari jariyah ahli waris almarhum Haji Syarbini yang disponsori oleh putranya Haji Fathurrahman Syarbini.

Di lokasi baru inilah kemudian yang dikembangkan ke arah selatan, barat dan utara sehingga saat ini luasnya kurang lebih 12 ha, yang kemudian dikenal dengan Pondok Al-Amien Komplek II yang sekarang menjadi pusat seluruh kegiatan AL-AMIEN PRENDUAN. Sebelum memulai pembangunan komplek II ini, Kiai Moh. Tidjani Djauhari bersama Kiai Muhammad Idris Juhari melakukan safari panjang ke beberapa pesantren terkenal di Jawa Timur dalam rangka mohon izin dan doa restu untuk mendirikan sebuah pesantren baru sekaligus melakukan studi banding dalam rangka mencari format yang paling cocok untuk masyrakat Madura yang memang berciri khusus pula.

Namun, Kiai Moh. Tidjani sementara tidak bisa meneruskan proses pendirian pesantren baru ini karena beliau harus segera kembali ke Mekkah untuk menyelesaikan Magisternya yang hampir tuntas. Maka walau awalnya keberatan, beban tanggung jawab untuk melanjutkan cita-cita almarhum diterima oleh Kiyai Muhammad Idris Jauhari. Apalagi ada jaminan kebebasan untuk berkreasi dan berbuat. Lagi pula ini hanya sementara dan di belakang beliau ada banyak pihak yang siap mendukung seluruh kegiatan pondok.

Berdasarkan hasil safari panjang yang dilakukan sebelumnya itulah, konsep tentang Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN yang baru, yang mencerminkan cita-cita almarhum KH. Djauhari Mendirikan Pesantren Ala Gontor tapi tidak melupakan nilai-nilai tradisi ke Madura-an yang khas dirumuskan. Maka pada tanggal 10 Syawal 1371 atau 03 Desember 1971 dalam sebuah upacara yang sangat sederhana tapi khidmat, bertempat di serambi Bu Jemmar dan dihadiri oleh beberapa anggota panitia dan guru-guru, Kiyai Muhammad Idris Jauhari meresmikan berdirinya pesantren baru, dan beliau sebagai direkturnya.

Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah atau lebih dikenal dengan TMI, begitulah lembaga pendidikan di lingkungan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN tersebut dinamakan. Pemilihan nama ini sesuai dengan harapan dari almarhum yang menginginkan berdirinya sebuah lembaga pendidikan serupa dengan KMI Gontor. Di awal perjalanannya lembaga baru ini banyak mendapatkan tentangan dari beberapa pihak yang belum mengerti tentang dasar, acuan dan prinsip sistem pendidikannya yang menjadi acuannya.

Walaupun mendapatkan tantangan dari luar dan dalam, namun proses pendidikan tetap berjalan dengan baik. Wisuda pertama dilaksanakan pada tahun 1978 bersamaan dengan kedatangan KH. Moh. Tidjani Djauhari yang sedang pulang kampung. Bersamaan dengan wisuda tersebut dihelat pula peringatan tujuh tahun TMI yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan dan wali santri.

Untuk membantu tugas sehari-hari kiai dan guru-guru juga sebagai media latihan berorganisasi maka pada tahun 1975 dibentuklah Organisasi Santri yang bernama OP TMI dan Gudep Pramuka. Yang kemudian bermetamorfosa menjadi ISMI hingga saat ini.

Walaupun mengembangkan pesantren di lokasi baru, Pondok Tegal sebagai sebuah warisan dari almarhum tetap dipertahankan bahkan dikembangkan. Untuk itulah pengelolaan kegiatan pendidikan sehari-hari diserahkan kepada Kiai Musyhab yang merupakan keponakan KH. Djauhari sekaligus menantu beliau. Sedangkan KH. Muhammad Idris Jauhari fokus mengelola TMI di lokasi baru.

Selain mengembangkan Pondok Tegal pada tahun 1973 juga dibuka Pondok Putri I di atas tanah milik kiai Abdul Kafi dan istrinya Nyai Siddiqoh keponakan KH. Djauhari yang memang dikaderkan secara khusus oleh beliau. Pendirian Pondok Putri I ini sendiri diawali oleh datangnya beberapa remaja putri Prenduan kepada Nyai Siddiqoh untuk mondok dan belajar secara khusus kepada beliau. Kedatangan remaja putri lainnyapun berulang di beberapa waktu setelahnya. Hal inilah yang mendorong beliau untuk membangun lokasi khusus untuk penginapan dan pemondokan mereka. Sehingga sejak tahun 1986 secara resmi Pondok Putri I berdiri dan sejak itu dikenal dengan Pondok Putri Al-Amien I atau Mitri I. Beberapa pengembanganpun dilakukan untuk memajukan Pondok Putri I sebagaimana halnya Pondok Tegal.

Pengembangan yang dilakukan tidak hanya di Pondok Putri I saja, sejak awal didirikannya telah ada hasrat yang besar untuk membangun Pondok Pesantren khusus putri yang bersistemkan TMI. Maka pada awal tahun 1975 dibangunlah SP Mu’allimat namun terpaksa diganti dengan MTs. Putri karena beberapa faktor. Namun pada tahun ajaran 1983/1984 beberapa wali santri datang untuk mengantarkan putrinya di lembaga pendidikan yang bersistem TMI bukan MTs. maupun MA. Obsesi lama tersebutpun muncul kembali ke permukaan. Maka setelah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, tepat pada tanggal 10 Syawal 1405 / 29 Juni 1985 dalam sebuah upacara yang sederhana di salah satu ruang belajar MTs. Pondok Putri I. Dra. Ny. Anisah Fatimah Zarkasyi yang saat itu sedang mudik dari Mekkah meresmikan berdirinya Tarbiyatul Mu’allimat Al-Islamiyah (TMaI) dan KH. Mahmad Aini ditunjuk sebagai direkturnya.

Hingga tahun 1983 TMaI masih menempati lokal MTs Pondok Putri I sampai akhirnya pindah ke lokasi baru, menempati tanah yang dijariyahkan oleh Hajjah Maryam. Di atas tanah seluas 1000 m2 yang terletak di sebelah barat rumah beliau tersebutlah kemudian dibangun lokal pertama milik TMaI. Dari lokal berbentuk L inilah TMaI mulai berkembang setapak demi setapak hingga seperti saat ini.

Alhamdulillah setelah enam tahun menjalankan program pendidikannya, pada tanggal 15 Ramadan 1411 / 31 Maret 1991 TMaI berhasil mewisuda alumni pertamanya sebanyak 11 orang. Kesebalas orang tersebut adalah mereka yang bertahan dari 25 orang saat pendaftaran awal pada tahun 1985.

Di lain sisi, sejak awal pembangunan TMI telah disadari pentingnya mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi di lingkungan AL-AMIEN PRENDUAN. Utamanya adalah untuk menampung alumni TMI yang berhasrat untuk melanjutkan pendidikannya namun masih di dalam pondok. Maka disepakatilah untuk mendidikan pesantren tinggi dengan nama Pesantren Tinggi Al-Amien (PTA) Fakultas Dakwah dengan KH. Shidqi Mudzhar sebagai dekannya dan KH. Jamaluddin Kafie sebagai pembantu dekan sekaligus pelaksana harian.

Selanjutnya ketika Menteri Agama, Bapak Munawwir Syadzali, MA berkunjung ke Al-Amien pada tanggal 04 Dzulhijjah 1403 / 11 September 1983 beliau diminta untuk meresmikan Pesantren Tinggi Al-Amien. Dan sesuai dengan peraturan pada masa itu Pesantren Tinggi diubah namanya menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Amien (STIDA) yang pada 24 Rajab 1402 / 29 Januari 1992 melepas wisudawannya sebanyak 43 orang.

Periode Pengembangan Kedua (1989-sekarang)
Tanggal 27 Januari 1989, KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA kembali dari Mekkah Al-Mukarromah. Kemudian disusul oleh KH. Maktum Jauhari, MA pada tahun 1990 yang baru saja menyelesaikan Magisternya di Al-Azhar Cairo. Sejak saat itulah Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN memasuki masa pengembangan baru. Pengembangan-pengembangan semakin cepat berjalan karena sinergi yang semakin solid.

Pengembangan pertama yang dilakukan adalah Pendirian Ma’had Tahfidh Al-Qur’an (MTA). Pendirian MTA ini didasari pada obsesi lama untuk mencetak generasi Hafadzah Al-Qur’an yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan ummat. Maka pada tahun 1990 pendirian MTA dimulai dengan membuka kembali program Jamaah Tahfidz di kalangan santri senior TMI. Lalu kemudian pada pertengahan bulan Sya’ban 1411 / Februari 1991 KH. Muhammad Idris Jauhari bersama KH. Ainul Had dan KH. Zainullah Rais berkeliling ke beberapa Ma’had Tahfidzil Qur’an di Jawa Timur, Jogjakarta hingga ke Jawa Tengah untuk studi banding dan mencari pola serta sistem yang paling representatif bagi Ma’had Tahfidzil Qur’an Al-Amien.

Dengan perantara Syekh Bakr Khumais, seorang dermawan Arab Saudi Syekh Ahmad Hasan Fatihy bersedia menyediakan dana yang cukup untuk membuka lembaga khusus bagi MTA yang terpisah dengan TMI. Maka pada dengan segala persiapan yang matang pada tanggal 12 Rb. Awal 1412 / 21 September 1991 KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA meresmikan berdirinya MTA dengan jumlah murid pertama sebanyak 28 orang.

Pengembangan kedua adalah pembangunan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. Hal ini telah terobsesi sejak lama, sejak beliau masih berada di Mekkah Al-Mukarromah. Beliau menginginkan di tengah-tengah kampus Al-Amien nantinya dibangun sebuah masjid yang besar, megah, indah dan multifungsi. Maka sepulang dari Mekkah beliau pun membentuk Panitia Pembangunan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. Segera setelah panitia dibentuk pembangunan masjid tersebut dimulai. Segala daya dan upaya dilakukan untuk mensukseskan pembanguan masjid besar ini. Untuk teknis pembangunan PT. Adhi Karya dan Pondok Modern Gontor pun di gandeng.

Pembangunan masjid besar seluas 48 x 40 meter ini berjalan secara bertahap dari tahun ke tahun. Proses pembangunannya kadang berlari, merangkak bahkan merayap sesuai dengan kebutuhan dan dana yang ada. Hingga akhirnya seluruh bagian utama masjid tersebut selesai tepat bersamaan dengan perayaan kesyukuran 45 tahun berdirinya AL-AMIEN PRENDUAN. Pada perhelatan akbar itu pula Menteri Agama meresmikan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. 

Pengembangan selanjutnya adalah peningkatan status Sekolah Tinggi Dakwah Al-Amien (STIDA) menjadi Sekolah Tinggai Agama Islam Al-Amien (STAI) dengan dibukanya Jurusan Pendidikan Agama (Tarbiyah) pada tahun 1995. Lalu pada tahun 2001 status STAI ditingkat kembali menjadi Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) dengan dibukanya 3 jurusan baru, Pendidikan Bahasa Arab (Tarbiyah), Jurusan Tafsir Hadis (Ushuluddin) dan Jurusan Akidah Filsafat (Ushuluddin).

Memasuki tahun 2002, AL-AMIEN PRENDUAN memasuki usianya yang ke 50. Untuk menyambut usia emas ini digelar peringatan Kesyukuran Setengah Abad Al-Amien dengan aneka kegiatan yang berlangsung selama 20 hari lamanya. Pada peringatan ini pula diresmikan MI Ponteg sebagai MI percontohan oleh Mendiknas RI. Beberapa pengembangan terus dilakukan, diantaranya adalah pendirian MTA Putri pada tahun 2006.

Setelah 18 tahun berjuang mengembangkan AL-AMIEN PRENDUAN, pada tanggal 15 Ramadhan 1428 KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA wafat dan meninggalkan amanah pengembangan AL-AMIEN PRENDUAN kepada KH. Muhammad Idris Jauhari dan kiai-kiai dan guru-guru yang lain. Patah tumbuh, hilang berganti. Demikian pepatah menggambarkan bagaimana perkembangan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN sejak didirikannya hingga saat ini.[dari berbagai sumber]

Sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=254

Pondok Salafiah Syafi'iah

Direktori Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi'iyah Situbondo
Nama : Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah
Alamat : Sukorejo Banyuputih Situbondo Jawa Timur
Telphone : (o338) 452666
Faximale : (o338) 452707
e-mail : sekretariat@salafiyah.or.id
homepage : http://www.salafiyah.or.id
Pendiri : KHR. Syamsul Arifin
Tahun berdiri : 1914
Pimpinan : KHR. Achmad Fawaid As'ad
Jumlah Santri : 15.000 orang
Ciri khas/kajian utama : Perpaduan antara sistem salaf dan modern


Pesantren yang berdiri di Sukorejo ini, pada awalnya adalah sebuah hutan
lebat. Setelah mendapat saran dari Habib Musawa dan Kiai Asadullah dari
Semarang, Kiai Syamsul Arifin, sebagai pendiri pondok, segera membabat
hutan lebat tersebut sekitar tahun 1908 untuk mendirikan pesantren.
Dipilihnya hutan yang banyak dihuni binatang buas tersebut, berdasarkan
hasil istikharah . Kini pesantren tersebut telah menjadi agen
pembangunan bagi masyarakat sekitarnya. Sosoknya tidak seperti "menara
gading", tetapi justru terbuka dan menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Tak heran, kalau masyarakat Situbondo merasakan manfaat atas kehadiran
pondok pesantren ini.

Banyak cerita yang mengisahkan pesantren yang memiliki santri 15.000
orang ini. Kiai Syamsul, setelah berhasil mendirikan pondok di tengah
hutan Desa Sukorejo mulai banyak didatangi orang. Tanpa dirancang dengan
tata ruang, hutan yang semula menyelimuti desa tersebut, mulai dipadati
rumah penduduk hingga seperti sekarang ini.

Kiai Syamsul memang terus sibuk membesarkan pondoknya. Namun sebagai
kiai yang memiliki visi ke depan, ia juga mengirim kedua anaknya,
masing-masing As'ad dan Abdurrahman ke Mekkah Saudi Arabia , untuk
mendalami ilmu agama. Hal ini dilakukan karena Kiai Syamsul menginginkan
anaknya kelak harus melanjutkan kepemimpinan pondok pesantren.

Kiai As'ad yang menjadi ulama kharismatik sekembalinya ke tanah air,
punya andil besar dalam lahirnya Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi
keagamaan terbesar di Indonesia . Ia terkenal dengan sebutan "mediator"
berdirinya NU. Karena saat itu, ia yang menyampaikan isyarat samawiyah
tentang organisasi para ulama itu dari Kiai Kholil Bangkalan kepada Kiai
Hasyim Asy'ari Jombang. Setelah menggantikan kepemimpinan ayahnya yang
meninggal tahun 1951, ia pernah menjadi anggota Konstituante.

Di bawah kepemimpinan Kiai As'ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah
mengalami perkembangan sangat cepat jika dibanding dengan pondok-pondok
yang lain di wilayah Jawa Timur. Sepeninggal Kiai As'ad (1990),
kepemimpinan pondok dipegang putranya, KHR Achmad Fawaid. Ia tampil
memimpin pondok pada usia 22 tahun. Banyak pihak mengira, sepeninggal
Kiai As'ad, Pesantren Sukorejo, sebutan populernya, akan sulit menyerap
santri baru. Namun kekhawatiran itu ternyata tidak terbukti. Di bawah
kepemimpinan kiai muda ini, ternyata Pesantren Sukorejo terus meroket
dengan jumlah santri terus membengkak. Kalau pada zaman Kiai As'ad
jumlah santri Salafiyah cuma 5.000 orang pada kepemimpinan Kiai Fawaid
membengkak menjadi 15.000 orang.

Pada saat memegang tampuk kepemimpinan pondok, Kiai Fawaid memang masih
sangat belia untuk ukuran sebuah pesantren sebesar Sukorejo. Namun kerja
kerasnya membuat perkembangan pondok ini jauh melebihi perkiraan orang.
Kiai yang selalu berpenampilan rendah diri ini, tak pernah terbawa emosi
dalam memimpin pesantren warisan ayahnya.

Ketika Kiai As'ad Syamsul Arifin masih hidup, anak lelaki satu-satunya
ini banyak dititipkan kepada kiai besar NU. Maksudnya, tak lain agar ia
banyak berguru pada berbagai kiai yang memiliki gaya maupun cara yang
berbeda-beda dalam mengelola pesantren. "Bagaimana pun, saya tidak akan
jauh dari tuntunan Aba ," kata Kiai Fawaid suatu ketika.

Kiai As'ad Syamsul Arifin yang pernah menjadi mustasyar PBNU selalu
mengungkapkan, "NU itu adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU
kecil." Dengan kata lain, pesantren adalah ciri khas ke-NU-an yang
ditandai dengan adanya lembaga, kiai, dan santri plus kitab-kitab
kuning. Adalah gagasan dari sang kiai ini pula agar Munas dan Muktamar
ke-27 NU (1984) diselenggarakan di pesantren Kiai As'ad di Sukorejo
Situbondo Jawa Timur. Kemudian, diharapkan Munas dan Muktamar
selanjutnya sebisanya diadakan di lingkungan pondok pesantren.

Kiai As'ad berkeyakinan, NU itu sendiri adalah ikatan ulama dan kiai
pondok. "Ironis sekali bila orang memimpin NU tapi tak pernah menjadi
santri, apalagi kiai," katanya pada suatu ketika. Dan memang, tumbuhnya
sebagian besar pondok di negeri ini dapat dikatakan seirama dengan
lahirnya ikatan ulama ahlussunnah waljamaah , yang kemudian mendirikan
Nahdlatul Ulama itu. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi'iyah di Situbondo Jawa Timur.

*Penataan Manajemen *

Setelah menggantikan ayahnya mengasuh Pesantren Sukorejo, Kiai Fawaid
segera membenahi sistem manajemen pondok sesuai dengan tuntutan zaman.
Di antara kebijakan yang diterapkan adalah menerapkan manajemen terbuka.
Hal ini terlihat dari penunjukan sejumlah santri yang berprestasi untuk
memegang posisi penting di kepengurusan pesantren dan lembaga pendidikan
yang ada.

Hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir ini, pendidikan Pesantren
Salafiyah terus berkembang. Sebagai misal, Ma'had Aly li al-'Ulum
al-Islamiyah Qism al-Fiqh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ma'had
Aly, sebuah lembaga pasca pesantren yang menitikberatkan pada kajian
ilmu-ilmu fiqh, berkembang di tangan kiai muda ini. Begitu pula,
bangunan fisik pesantren juga mengalami kemajuan yang cukup signifikan.
Begitu juga sistem pendidikan berbasisi kompetensi juga mulai diterapkan
di pesantren ini.

Pendidikan tinggi yang ada di pesantren ini menyerap sekitar 2.500
mahasiswa. Ada tiga fakultas di bawah naungan Institut Agama Islam
Ibrahimy (IAII), yakni Fakultas Tarbiyah, Syariah, dan Dakwah. Di
samping itu ada dua akademi dan satu sekolah tinggi, yaitu Akademi
Perikanan (Aperik), Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (Amik),
dan Sekolah Tinggi Ilmu Perawat (Stiper). Juga ada Program Pascasarjana
dengan Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam (MPdI) dan Konsentrasi
Metodologi Istimbat Hukum Islam (MHI).

Tenaga pengajar IAII antara lain Prof. KH. Ali Yafie, Prof. Dr. KH.
Sjeichul Hadi Permono, SH MA, Prof. Dr. Simanhadi Widyo Prakosa, Prof.
Dr. Ridwan Nasir, MA, Prof. KH Abdul Halim Muhammad, SH, Dr. Ibrahim
Bafadal, MA, HM Moerad baso, MBA, MSc, PhD, dan sejumlah nama lainnya.
IAII dan Ma'had Aly sering mengadakan seminar dan sarasehan keislaman,
dengan mengundang sejumlah cendikiawan dan birokrat dari Jakarta .
Ma'had Aly dalam menjalankan program-programnya menjalin mitra kerja
sama dengan lembaga lain. Antara lain Perhimpunan Pengembangan Pesantren
dan Masyarakat (P3M) Jakarta , LkiS Jogyakara, Lakpesdam NU, JIL
Jakarta, dan ISIS Jakarta.

*Perkampungan Pesantren *

Pesantren Sukorejo yang menempati areal seluas 11,9 Ha merupakan
perkampungan tersendiri. Pedukuhan Sukorejo hampir semuanya untuk area
kegiatan pesantren. Lembaga pendidikan yang dikembangkan di pesantren
ini mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Bahkan
bengkel, kebun, perumahan ustadz/dosen, puskesmas, dan pertokoan,
menempati lahan pesantren. Mulai Madrasah Aliyah (kurikulum Depag)
sampai SMA/SMK (kurikulum Diknas) menempati areal pesantren yang
ditumbuhi nyiur yang rindang.

Selain itu, berbagai keterampilan seperti pertukangan, otomotif,
pertanian, dan koperasi tumbuh pesat di kalangan para santri yang
berdatangan dari berbagai daerah mulai dari Aceh sampai Papua. "Seperti
Taman Mini Indonesia Indah (TMII), semua suku hampir terwakili di sini,"
komentar seorang santri dari Jakarta . Bahkan menurut catatan pengurus
pondok, siswa dari Singapura , Malaysia , dan Brunai Darussalam juga
belajar di Salafiyah.

Berapa santri harus membayar biaya pendidikan di Pesantren Salafiyah?
Biaya pendidikan di pesantren ini, dikenal dengan sebutan Uang Tahunan
Pesantren (UTAP), yang dihitung selama setahun dan tergantung tingkat
pendidikan. Utap berkisar antara Rp 120.000 sampai Rp 375.000 dan masih
bisa diangsur. Namun pesantren ini juga memberikan beasiswa kepada anak
yatim dan mereka yang tidak mampu. Pemberian beasiswa itu ditentukan
oleh pengurus pondok, berdasarkan kriteria yang sudah diatur.

Fasilitas yang disediakan pesantren kepada para santri antara lain:
bangunan asrama, listrik, air serta pendidikan yang dipilihnya. Di
samping itu pendidikan non formal, seperti kajian-kajian kitab kuning
dan beberapa kursus. Selebihnya, seperti mencuci dan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari dapat dilakukan santri sendiri atau melalui koperasi yang
juga mengelola konsumsi para santri. Konon, koperasi pondok ini setiap
tahun mendapat keuntungan Rp 350 juta.

*Menjaga jarak *

Walaupun Kiai As'ad telah tiada, toh banyak pejabat yang bertandang ke
Pesantren Salafiyah. Dalam sebuah wisuda sarjana S1, Drs Mar'ie Muhammad
(saat itu masih menjabat Menteri Keuangan) pernah memberikan ceramah
ilmiah. Melihat sambutan spontanitas ribuan santri yang berkerumun
dengan tetap bersikap santun. Mar'ie yang disertai pakar ekonomi Drs.
Kwik Kian gie bertutur, "Ini baru arus bawah, bukan rekayasa arus bawah."

Para Gubernur Jawa Timur dan Pangdam V/Brawijaya juga sering berkunjung
ke pondok ini. "Ini menunjukkan bahwa Pondok Sukorejo terbuka," kata KHR
Achmad Fawaid. Menurutnya, tidak hanya tamu-tamu biasa seperti umumnya
sering silaturrahim ke pondok, yang resmi seperti para pejabat dan
jenderal pun datang meninjau ke pondok.

Pondok Sukorejo memang dekat dengan pejabat, namun tetap menjaga jarak.
Karena itu bisa dipahami bila kemudian, setiap Pemilu pondok ini jadi
"langganan" para petinggi parpol agar mendukung konsestan tertentu. Toh
tak pernah berhasil. Mengapa? "Kami akan meneruskan sikap Aba , bahwa
seorang nahdliyin (warga NU) harus berpegang khittah ashliyyah yakni
khittah 26 itu," ujar Kiai Fawaid. "Terserah mereka untuk memilih salah
satu kontestan. Itu bukan tanggung jawab kami," lanjutnya.

Sikap netral Pondok Sukorejo itulah yang barangkali justru membuat
respek baik "arus bawah" maupun "arus atas" pada kiai dan pondok. Karena
itu, bila ada pihak tertentu yang ingin silaturrahim, pengasuh pondok
ini tetap menerimanya. "Silakan tapi ingat jangan mengikat," kata kiai
muda ini.

Pondok Pesantren Tebuireng

SELAYANG PANDANG PESANTREN TEBUIRENG

Pendahuluan
Tebuireng sebagai salah satu dusun di wilayah Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang mempunyai nilai historis yang besar. Dusun yang terletak 10 km. arah selatan kabupaten Jombang ini tidak bisa dipisahkan dengan K.H.M. Hasyim Asy’ari, di dusun inilah pada tahun 1899 M. Kyai Hasyim membangun pesantren yang kemudian lebih dikenal dengan Pesantren Tebuireng. Sebagai salah satu pesantren terbesar di Jombang, Pesantren Tebuireng telah banyak memberikan konstribusi dan sumbangan kepada masyarakat luas baik dalam bidang pendidikan, pengabdian serta perjuangan.
Pondok Pesantren Tebuireng yang saat ini di bawah naungan Yayasan Hasyim Asy’ari mengembangkan beberapa unit pendidikan formal dan nonformal, yaitu: Madrasah Tsanawiyah Salafiyah Syafi’iyyah, SMP A. Wahid Hasyim, Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyyah, SMA A. Wahid Hasyim, Madrasah Diniyyah, dan Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari. Keberadaan unit-unit pendidikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat memberikan arti tersendiri, yaitu sebagai manifestasi nilai-nilai pengabdian dan perhatian kepada masyarakat. Dan dalam bentuk informal pesantren Tebuireng membuka jasa layanan masyarakat berupa kesehatan (Rumah Sakit Tebuireng), perekonomian (koperasi dan kantin). Kepercayaan dan perhatian masyarakat luas terhadap keberadaan pesantren Tebuireng adalah dasar kemajuan dan perkembangan Teburieng di masa depan, dengan tetap mengembangkan visi dan misi pendidikan yang mandiri serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Visi dan Misi
Visi : 
Pesantren terkemuka penghasil insan pemimpin yang berakhlaq

Misi :
 
1. Melaksanakan tata keadministrasian berbasis teknologi
2. Melaksanakan tata kepegawaian berbasis teknologi
3. Malaksanakan pembelajaran IMTAQ yang berkualitas di sekolah dan pondok
4. Melaksanakan pengkajian yang berkualitas kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim dan Ta’lim al-Muta’allim sebagai dasar akhlaq al-karimah
5. Melaksanakan pembelajaran IPTEK yang berkualitas
6. Melaksanakan pembelajaran sosial dan budaya yang berkualitas
7. Menciptakab suasana yang mendukung upaya menumbuhkan daya saing yang sehat
8. Terwujud tata layanan publik yang baik

Sejarah Singkat Pesantren Tebuireng
Pondok Pesantren Tebuireng didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 M. Beliau dilahirkan pada hari Selasa Kliwon tanggal 24 Dzul Qa’dah 1287 H. bertepatan dengan 14 Pebruari 1871 M. Kelahiran beliau berlangsung di rumah kakeknya, Kyai Utsman, di lingkungan Pondok Pesantren Gedang Jombang.
Hasyim kecil tumbuh dibawah asuhan ayah dan ibu dan kakeknya di Gedang. Dan seperti lazimnya anak kyai pada saat itu, Hasyim tak puas hanya belajar kepada ayahnya, pada usia 15 tahun ia pergi ke Pondok Pesantren Wonokoyo Pasuruan lalu pindah ke Pondok Pesantren Langitan Tuban dan ke Pondok Pesantren Tenggilis Surabaya. Mendengar bahwa di Madura ada seorang kyai yang masyhur, maka setelah menyelesaikan belajarnya di Pesantren Tenggilis ia berangkat ke Madura untuk belajar pada Kyai Muhammad Kholil. Dan masih banyak lagi tempat Hasyim menimba ilmu pengetahuan agama, hingga ahirnya beliau diambil menantu oleh salah satu gurunya yaitu Kyai Ya’qub, pada usia 21 tahun Hasyim dinikahkan dengan putrinya yang bernama Nafisah pada tahun 1892.

Tak lama kemudian, bersama mertua dan isterinya yang sedang hamil pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sambil menuntut ilmu. Namun musibah seakan menguji ketabahannya, karena tidak lama istrinya tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal. kesedihan itu semakin bertumpuk, lantaran empat puluh hari kemudian buah hatinya, Abdullah, wafat mengikuti ibunya.
Selama di Mekkah, Hasyim muda berguru kepada banyak ulama’ besar. Antara lain kepada Syekh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Muhammad Mahfuzh at-Turmusi dan Syekh Muhammad Minangkabau dan masih banyak lagi ulama’ besar lainnya.
Sejak pulang dari pengembaraannya menuntut ilmu di berbagai pondok pesantren terkemuka dan bahkan ke tanah suci Mekkah, beliau terobsesi untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Peninggalan beliau yang tidak akan pernah dilupakan orang adalah Pondok Pesantren Tebuireng.
Tebuireng merupakan nama dari sebuah dusun kecil yang masuk wilayah Cukir Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang Propinsi Jawa Timur. Letaknya delapan kilometer di selatan kota Jombang, tepat berada di tepi jalan raya jurusan Jombang – Kediri.
Menurut cerita masyarakat setempat, nama Tebuireng berasal dari “kebo ireng” (kerbau hitam). Konon, ketika itu ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berkulit kuning (bule atau albino). Suatu hari, kerbau tersebut menghilang. Setelah dicari kian kemari, menjelang senja baru ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok di rawa-rawa yang banyak dihuni lintah. Sekujur tubuhnya penuh lintah, sehingga kulit kerbau yang semula kuning berubah hitam. Peristiwa mengejutklan ini menyebabkan pemilik kerbau berteriak “kebo ireng …! kebo ireng …!. Sejak itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama “Kebo Ireng”.
Namun ada versi lain yang menuturkan bahwa nama Tebuireng bukan berasal dari kebo ireng seperti cerita di atas, tetapi diambil dari seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.
Namun pada perkembangan selanjutnya, ketika dusun itu mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti apakah karena itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut yang telah banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu sebagai bahan baku gula, yang mungkin tebu yang ditanam berwarna hitam, maka pada akhirnya dusun tersebut berubah menjadi Tebuireng.
Dusun Tebuireng dulu dikenal sebagai sarang perjudian, perampokan, pencurian, pelacuran dan semua perilaku negatif lainnya. Namun sejak kedatangan Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari bersama beberapa santri yang beliau bawa dari pesantren kakeknya (Gedang) pada tahun 1899 M. secara bertahap pola kehidupan masyarakat dusun tersebut mulai berubah semakin baik, semua perilaku negatif masyarakat di Tebuireng terkikis habis dalam masa yang relatif singkat. Dan santri yang mulanya hanya beberapa orang dalam beberapa bulan saja jumlahnya meningkat menjadi 28 orang.
Awal mula kegiatan dakwah Hadratus Syaikh Kyai Hasyim Asy’ari dipusatkan di sebuah bangunan kecil yang terdiri dari dua buah ruangan kecil dari anyam-anyaman bambu (Jawa; gedek), bekas sebuah warung pelacuran yang luasnya kurang lebih 6 x 8 meter, yang beliau beli dari seorang dalang terkenal. Satu ruang depan untuk kegiatan pengajian, sementara yang belakang sebagai tempat tinggal Kyai Hasyim Asy’ari bersama istri tercinta Ibu Nyai Khodijah.
Tentu saja dakwah Kyai Hasyim Asy’ari tidak begitu saja memperoleh sambutan baik dari penduduk setempat. Tantangan demi tantangan yang tidak ringan dari penduduk setempat datang silih berganti, para santri hampir setiap malam selalu mendapat tekanan fisik berupa senjata celurit dan pedang. Kalau tidak waspada, bisa saja diantara santri terluka karena bacokan. Bahkan untuk tidur para santri harus bergerombol menjauh dari dinding bangunan pondok yang hanya terbuat dari bambu itu agar terhindar dari jangkauan tangan kejam para penjahat.
Dan gangguan yang sampai dua setengah tahun lebih itu masih terus saja berlanjut, hingga Kyai Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mengirim utusan ke Cirebon guna mencari bantuan berbagai macam ilmu kanuragan kepada 5 kyai yakni; Kyai Saleh Benda, Kyai Abdullah Pangurangan, Kyai Syamsuri Wanatara, Kyai Abdul Jamil Buntet dan Kyai Saleh Benda Kerep.
Dari kelima kyai itulah Kyai Hasyim Asy’ari belajar silat selama kurang lebih 8 bulan. Dan sejak itulah semakin mantap keberanian Kyai Hasim Asy’ari untuk melakukan ronda sendirian pada malam hari menjaga keamanan dan ketenteraman para santri.
Dengan perjuangan gigih tak kenal menyerah Kyai Hasyim Asy’ari akhirnya berhasil membasmi kejahatan dan kemaksiatan yang telah demikian kentalnya di Tebuireng. Keberadaan Pondok Pesantren Tebuireng semakin mendapat perhatian dari masyarakat luas.
Dalam perjalanan sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebuireng telah mengalami 7 kali periode kepemimpinan. Secara singkat, periodisasi kepemimpinan Tebuireng sebagai berikut:


Periode I       : KH. Muhammad Hasyim Asy’ari : 1899 – 1947
Periode II    : KH. Abdul Wahid Hasyim : 1947 – 1950
Periode III   : KH. Abdul Karim Hasyim : 1950 – 1951
Periode IV
   : KH. Achmad Baidhawi : 1951 – 1952
Periode V     : KH. Abdul Kholik Hasyim : 1953 – 1965
Periode VI    : KH. Muhammad Yusuf Hasyim : 1965 – 2006
Periode VII  : KH. Salahuddin Wahid : 2006 - sekarang


SISTEM PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

Perkembangan Pondok Pesantren Tebuireng

Sebagai pesantren tradisional, Pondok Pesantren Tebuireng pada awal kelahirannya telah mampu menunjukkan perannya yang sangat berarti bagi negeri ini, yang sedang berjuang melawan penjajah Belanda dan Jepang. Maka dengan pengaruhnya yang besar dalam masyarakat, Pondok Pesantren Tebuireng mendorong segenap lapisan masyarakat –khususnya umat Islam– untuk berjuang melawan penjajah serta mengantar dan memberi semangat bangsa ini berperang mengusir penjajah dan senantiasa mununjukkan sikap anti pati terhadap Belanda. Bahkan pernah muncul fatwa dari Pondok Pesantren Tebuireng, tentang haramnya memakai dasi bagi umat Islam, karena hal demikian –menurut Kyai Hasyim Asy’ari– dianggap menyamai penjajah. Fatwa ini tujuannya tidak lain adalah untuk membangun kesan pada masyarakat tentang betapa pentingnya sikap menentang dan membentuk sikap anti pati terhadap penjajah, agar kemerdekaan segera diraih bangsa ini.
Seiring dengan perjalanan waktu Pondok Pesantren Tebuireng tumbuh demikian pesatnya, santri yang berdatangan menimba ilmu semakin banyak dan beragam, masing-masing membawa misi dan latar belakang yang beragam pula. Kenyataan demikian mendorong Pondok Pesantren Tebuireng memenuhi beberapa keinginan yang hendak diraih para santrinya, sehingga siap berpacu dengan perkembangan zaman.
Untuk kepentingan tersebut, Pondok Pesantren Tebuireng beberapa kali telah melakukan perubahan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pendidikan. Sebagaimana pesantren-pesantren pada zaman itu, sistem pengajaran yang digunakan adalah metode sorogan (santri membaca sendiri materi pelajaran kitab kuning di hadapan guru), metode weton atau bandongan ataupun halqah (kyai membaca kitab dan santri memberi makna). Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan tingkat pendidikan dinyatakan dengan bergantinya kitab yang khatam (selesai) dikaji dan diikuti santri. Materi pelajarannya pun khusus berkisar tentang pengetahuan agama Islam, ilmu syari’at dan bahasa Arab. Dan inilah sesungguhnya misi utama berdirinya pondok pesantren.
Perubahan sistem pendidikan di pesantren ini pertama kali diadakan Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1919 M. yakni dengan penerapan sistem madrasi (klasikal) dengan mendirikan Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Sistem pengajaran disajikan secara berjenjang dalam dua tingkat, yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani.
Hingga pada tahun 1929 M. kembali dirintis pembaharuan, yakni dengan dimasukkannya pelajaran umum ke dalam struktur kurikulum pengajaran. Satu bentuk yang belum pernah ditempuh oleh pesantren manapun pada waktu itu. Dalam perjalanannya penyelenggaraan madrasah ini berjalan lancar. Namun demikian bukan tidak ada tantangan, karena sempat muncul reaksi dari para wali santri –bahkan– para ulama’ dari pesantren lain. Hal demikian dapat dimaklumi mengingat pelajaran umum saat itu dianggap sebagai kemunkaran, budaya Belanda dan semacamnya. Hingga banyak wali santri yang memindahkan putranya ke pondok lain. Namun madrasah ini berjalan terus, karena disadari bahwa ini pada saatnya nanti ilmu umum akan sangat diperlukan bagi para lulusan pesantren.

JADWAL AKTIFITAS KESEHARIAN SANTRI

PONDOK PESANTREN TEBUIRENG

No

Waktu

Kegiatan

     1.         

04.00 – 04.30

Tahajjud/Persiapan jama’ah shalat Subuh

     2.         

04.30 – 05.00

Jama’ah shalat Subuh

     3.         

05.00 – 05.45

Pengajian Al-Qur’an

     4.         

05.45 – 06.00

Tutorial Bahasa Arab-Inggris

     5.         

06.00 – 06.45

Sarapan pagi dan persiapan berangkat sekolah

     6.         

06.45 – 07.20

Sholat Dhuha (di Sekolah)

     7.         

07.20 – 15.30

Kegiatan belajar mengajar di sekolah (Fullday School)

     8.         

15.30 – 17.00

Sholat Ashar dan Istirahat

     9.         

17.00 – 17.30

Makan sore dan persiapan jama’ah shalat Maghrib

    10.        

17.30 – 20.00

Kegiatan belajar mengajar Madrasah Diniyyah

    11.        

20.00 – 21.00

Jama’ah shalat Isya’ dan jam belajar (muthola’ah)

    12.        

21.00 – 22.00

Pengajian umum

    13.        

22.00 – 04.00

Istirahat (Tidur)

Kamis malam, Jumat, dan Senin Malam Kegiatan Pengajian Libur dan diisi dengan kegiatan ekstra kurikuler



KITAB-KITAB KARYA HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI
1. Adabul 'Alim Wal Muta'allim adalah sebuah kitab yang mengupas tentang pentingnya menuntut dan menghormati ilmu serta guru. Dalam kitab ini KH. M. Hasyim Asy'ari menjelaskan kepada kita tentang cara bagaimana agar ilmu itu mudah dan cepat dipahami dengan baik. Kitab yang terdiri dari beberapa bab ini, memberikan pula kepada kita pencerahan tentang mencari dan menjadikan ilmu benar-benar memberikan manfaat kepada masyarakat. Salah satu contoh yang diberikan oleh KH. M. Hasyim Asy'ari kepada kita adalah bahwa ilmu akan lebih mudah diserap dan diterima apabila kita dalam keadaan suci atau berwudhu terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Banyak hal yang bisa kita petik dalam rangka mencari ilmu ketika kita membaca kitab ini.
2. Risalah Ahlis Sunnah Wal Jama'ah merupakan pedoman bagi warga NU dalam mempelajari tentang apa yang disebut ahlus sunnah wal jama'ah atau sering disingkat dengan ASWAJA. Dalam kitab ini, Hadratus Syaikh juga mengulas tentang beberapa persoalan yang berkembangan dimasyarakat semisal, apa yang disebut dengan bid'ah? Menerangkan pula tentang tanda-tanda kiamat yang terjadi pada masa sekarang ini. Banyak golongan yang mengaku bahwa mereka juga merupakan golongan ahlus sunnah wal jamaa'h. Akan tetapi dalam ibadah, amal perbuatannya banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW. Dalam kitab ini diuraikan dengan jelas tentang bagaimana sebenarnya ahlus sunnah wal jama'ah tersebut.
3. At-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan merupakan kumpulan beberapa pikiran khususnya yang berhubungan dengan Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, ditekankan pentingnya menjalin silaturrohim dengan sesama serta bahayanya memutus tali sillaturohim. Didalam kitab ini pula, termuat Qunun Asas atau udang-undang dasar berdirinya Nadhatul Ulama (NU) serta 40 hadits nabi yang berhubungan dengan pendirian Nahdlatul Ulama. Dalam kitab ini, dikisahkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy'ari pernah mendatangi seorang kyai yang ahli ibadah karena kyai tersebut tidak mau menyambung silaturrohim dengan masyarakat sekitar sehingga sempat terjadi perdebatan antara keduanya.
4. An-Nurul Mubin Fi Mahabbati Sayyidil Mursalin merupakan karya KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang menjelaskan tentang rasa cinta kepada nabi Muhammad SAW. Dalam kitab tersebut, dijelaskan pula tentang sifat-sifat terpuji nabi Muhammad SAW yang bisa menjadi suri tauladan bagi kita semua. Dijelaskan pula tentang kewajiban kita taat, menghormati kepada perintah Allah SWT yang telah disampaikan melalui nabi Muhammad SAW baik melalui al-qur an atau hadits. Silsilah keluarga nabi Muhammad SAW, tidak luput dari pembahasan. Singkat kata, dalam kitab ini, kita mendapatkan sejarah yang relatif lengkap dan menarik untuk dikaji serta dijadikan tauladan menuju insan kamil.
5. Ziyadatut Ta'liqot merupakan kitab yang berisi tentang polemik beliau dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan tentang beberapa hal yang berkembang pada masa itu. Perdebatan terjadi pada beberapa masalah yang tidak sesuai antara pandangan Nahdlatul Ulama dengan KH. Abdullah Bin Yasin Pasuruan. Banyak sekali permasalahan yang diperdebatkan sehingga kitab ini begitu tebal dan permasalahan yang diperdebatkan masih terjadi dimasyarakat.
6. At-Tanbihatul Wajibat Li Man Yasna' Al-Maulid Bil Munkaroti adalah sebuah kitab tentang pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy'ari tantang peringatan maulid nabi Muhammad SAW yang disertai dengan perbuatan maksiat atau munkar. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa pada jaman dulu, disekitar Madiun, setelah pembacaan shalawat nabi, para pemuda segera menuju arena untuk mengadu keahlian dalam hal bela diri silat atau pencak. Acara itu, masih dalam rangkaian peringatan maulid serta dihadiri oleh gadis-gadis yang saling berdesakan dengan para pemuda. Mereka saling berteriak kegirangan hingga lupa bahwa saat itu, mereka sedang memperingati maulid nabi Muhammad SAW. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan KH. Muhammad Hasyim Asy'ari sehingga beliau mengarang kitab ini.
7. Dhou'ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah berisi pikiran ataupun pandangan KH. Muhammad Hasyim Asy'ari tentang lembaga perkawinan. Dalam kitab tersebut, beliau menangkap betapa pada saat itu, banyak pemuda yang ingin menikah, akan tetapi tidak mengtahui syarat dan rukunnya nikah. Tidak tahu pula tentang tata cara / sopan santun dalam pernikahan sehingga dalam mereka menjadi bingung karenanya. Dalam kitab tersebut, terkandung beberapa nasehat yang penting agar lembaga perkawinan betul-betul bisa menjadi sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah sesuai tuntunan agama. 


KITAB-KITAB KARYA KH.ISHOM HADZIQ (GUS ISHOM) 
CUCU HADRATUS SYAIKH KH. MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI

1. Miftahul Falah Fi Ahaditsin Nikah adalah berisi hadits-hadist tentang perkawinan yang melengkapi kitab Dhou'ul Misbah Fi Bayani Ahkamin Nikah. Ditulis oleh almarhum gus Ishom Hadzik, kitab tersebut banyak menampilkan hadits-hadits yang sangat baik dalam rangka membentuk dan membina sebuah mahligai perkawinan yang berlandaskan tuntunan syariat Islam.
2. Audhohul Bayan Fi Ma Yata'allaq Bi Wadhoifir Ramadhan adalah sebuah kumpulan kitab karya gus Ishom Hadzik yang berisi hadits-hadits tentang keutamaan bulan ramadhan yang mulia. Terdiri dari beberapa bab, hadits-hadits pilihan dalam kitab ini, memberikan kita tentang betapa mulianya bulan ramadhan. Dalam kitab tersebut, dapat kita ketahui tentang amalan-amalan yang sangat baik dilakukan ketika bulan ramadhan.
3. Irsyadul Mukminin merupakan karya terakhir dari almarhum gus Ishom Hadzik. Ketika yang lebih mengarah kepada akhlak serta tasawuf ini, memberikan kita pengetahuan tentang ajaran Islam dari sisi moral dan tasawuf. Sungguh, sebagaimana kitab lainnya, kitab ini jika kita kaji dengan mendalam, akan menemukan pencerahan batiniah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan kita yang lebih baik dimasa mendatang.
Sumber: http://tebuireng.net/index.php?pilih=hal&id=4